Dandang, Spesialis untuk "Adang" Nasi


Dandang umumnya terbuat dari bahan tembaga. Masyarakat Jawa mengenal profesi orang yang khusus membuat dandang dari tembaga ini dengan sebutan “sayang”.

Alat dapur ini lebih banyak digunakan untuk menanak nasi dalam jumlah banyak. Maka alat ini lebih khusus untuk “adang” atau menanak nasi. Dalam kamus “Baoesastra Djawa” karangan WJS. Poerwadarminta (1939) halaman 64, dikatakan dandang seperti kendhil besar, yang bagian atas berlubang besar, ada bibirnya, dan digunakan untuk adang nasi. Memang kadang juga untuk memasak air dalam skala banyak, namun kurang begitu lazim. Selain untuk menanak nasi alat ini, dapat pula untuk menanak makanan lain, seperti ketela (singkong) rambat, ketela pohon, atau sejenisnya.

Dandang umumnya terbuat dari bahan tembaga. Masyarakat Jawa mengenal profesi orang yang khusus membuat dandang dari tembaga ini dengan sebutan “sayang”. Dalam kamus tersebut, halaman 539, dijelaskan bahwa “sayang” adalah tukang yang membuat barang dari tembaga, salah satunya adalah dandang. Dalam perkembangannya, ada pula dandang yang terbuat dari aluminium, yang disebut soblok. Sebagai alat masak tradisional yang sudah sangat jarang dipakai oleh masyarakat Jawa dewasa ini, penggunaan dandang untuk memanak nasi harus dilengkapi dengan alat lain, seperti kukusan, kekeb, dan panyanton. Dengan perlengkapan itulah, dandang baru dapat difungsikan maksimal untuk menanak nasi.

Pada zaman dahulu, dandang biasa dipakai untuk menanak nasi dalam skala besar, terutama untuk orang-orang yang sedang mempunyai hajatan, seperti pernikahan, kematian, kitanan, syukuran, dan lainnya. Sekarang, dandang termasuk barang langka. Memang masih ada yang menjual dan memakainya, namun boleh dikatakan sudah sangat jarang. Orang sekarang lebih banyak menggunakan dandang atau soblok yang terbuat dari aluminium daripada terbuat dari tembaga.

Sebenarnya, dandang dari tembaga lebih awet dan tidak mudah bocor, karena dandang dari tembaga lebih tebal daripada yang terbuat dari aluminium. Maka tidak heran, harga dandang tembaga lebih mahal jika dibandingkan dengan dandang aluminium. Karena harganya yang lebih mahal itulah, maka masyarakat sekarang berpindah ke peralatan serupa yang lebih murah. Selain itu tentu juga dipengaruhi oleh perubahan tungku yang dipakai pula.

Apakah beda, bentuk dandang tembaga dengan dandang aluminium? Jelas ada perbedaan. Untuk lebih detail, akan diulas edisi berikutnya.

Pada dekade 1970-an, dandang tembaga juga banyak menghiasi pegadaian. Hal ini sangat wajar, karena dandang tembaga termasuk alat dapur yang bernilai jual tinggi.

Pada umumnya, dandang tembaga mempunyai tinggi sekitar 60 cm atau lebih. Kadang-kadang ada yang dibuat ukuran lebih kecil sedikit. Bentuk dandang tembaga biasanya berbeda dengan bentuk dandang aluminium (atau sering disebut soblok). Pada dandang tembaga, bagian bawah lebar, bagian tengah mengecil, dan bagian atas melebar lagi. Sementara bagian pantatnya berbentuk cembung. Untuk dandang aluminium, umumnya bagian bawah hingga atas sama. Hanya bagian tengah diberi lekukan melingkar tempat angsang. Pada bagian pantat dandang aluminium biasanya datar. Ukuran dandang aluminium terdiri kecil, sedang, dan besar.

Perbedaan bentuk ini disebabkan salah satunya adalah tungku yang digunakan untuk memasak. Pada umumnya dandang tembaga diletakkan pada tungku dhingkel atau luweng. Sementara dandang aluminium, selain bisa menggunakan tungku tersebut, juga bisa menggunakan jenis tungku lainnya, misalnya kompor minyak tanah, anglo, atau keren.

Untuk dapat dipakai untuk menanak nasi, dandang tembaga biasanya dilengkapi dengan alat lain, seperti penyaton, kukusan, solet, dan kekeb. Kukusan berbentuk kerucut, yang diletakkan di dalam dandang dengan pucuk di bawah. Kemudian penyaton diletakkan di dalam kukusan di bagian pucuk. Fungsinya agar nasi di bagian bawah yang ditanah tidak kena air secara langsung.

Penyaton dibuat dari separuh tempurung kelapa yang sudah diberi lubang kecil-kecil. Sementara fungsi solet untuk mengaduk nasi yang ditanak, agar masaknya merata. Solet bisa terbuat dari dari bambu atau kayu. Bentuknya seperti entong, hanya ukurannya agak panjang. Sementara kekeb berfungsi untuk menutup kukusan, agar nasi cepat matang dan untuk menghindarkan dari kotoran. Kekeb biasanya juga terbuat dari anyaman bambu, seperti halnya kukusan.

Sementara dandang soblok aluminium yang bentuknya seperti silinder hanya dilengkapi dengan angsang dan tutup. Keduanya terbuat dari bahan yang sama, yakni aluminium. Angsang berfungsi seperti kukusan, yakni agar air yang mendidih tidak langsung mengenai nasi yang ditanak. Jadi angsang juga berfungsi sebagai penahan nasi yang sedang ditanak. Angsang juga dibuat berlubang kecil-kecil sangat banyak hampir memenuhi semua sisi angsang. Sementara tutup dandang soblok dibuat rapat, agar uap air tidak banyak keluar. Bentuknya bisa kerucut atau datar. Di bagian atas tutup diberi pegangan agar memudahkan membuka atau menutupnya. Dandang tembaga saat ini sudah sangat jarang dipakai oleh masyarakat Jawa. Namun demikian masih ada yang memilikinya, karena barang ini sangat awet. Bisa jadi masih ada masyarakat yang memiliki karena warisan dari orang tuanya atau leluhurnya. Sementara tempat lain yang bisa dijumpai antara lain museum dan pasar-pasar tradisional, khususnya pasar tradisional yang besar, seperti Pasar Beringharjo, Pasar Gedhe, Pasar Klewer, dan sebagainya.

Pada dekade 1970-an, dandang tembaga juga banyak menghiasi pegadaian. Hal ini sangat wajar, karena dandang tembaga termasuk alat dapur yang bernilai jual tinggi. Pada masa itu, pegadaian masih menerima barang-barang gadai dengan nilai jual tinggi, seperti kain jarik dan dandang tembaga. Namun sekarang, sudah sangat jarang pegadaian menerima barang gadai berupa dandang tembaga. Masih pada era 1970-an atau sebelumnya, ada sebagian masyarakat yang masih percaya terhadap penggunaan dandang. Pada masyarakat di Yogyakarta, sesuai dengan sumber buku ini, seperti di daerah Parangtritis dan Imogiri Bantul, itu masih percaya, bagi penanak nasi yang menggunakan dandang, dan ia sampai menggulingkan dandang, maka ia harus diruwat. Namun entah sekarang, mungkin kepercayaan itu sedikit demi sedikit mulai hilang. Sebab jika tidak diruwat, ada kepercayaan, si adang nasi akan dimakan “Bethara Kala”.

Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2
Previous Post Next Post