Makyong, Seni Teater Tradisional di Kepulauan Riau


Makyong adalah seni teater tradisional yang menarik untuk disaksikan karena menggabungkan berbagai unsur di dalamnya yaitu agama, adat Melayu, sandiwara, gerak tari, syair lagu, vokal, instrumental tradisional, serta naskah sederhana namun memikat. Sejak dahulu makyong dipentaskan di desa-desa sekitar pematang sawah seusai panen padi. Pihak kerajaan juga akan mementaskannya secara khusus dengan mengambil pelakon terbaik dari desa-desa.

Teater khas Melayu ini mementaskan tokoh utama pria dan wanita tetapi justru dibawakan penari wanita dengan memakai topeng. Ada juga tokoh lain dalam cerita seperti munculnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Semua tokoh yang dimainkan pria memakai topeng yang disesuaikan dengan wataknya.

Pementasan makyong menyuguhkan iringan alat musik rebab, gendang, dan tetawak yang harmonis terdengar. Akan didendangkan juga lagu-lagu merdu Melayu, yaitu: Betabik, Awang Bejalan, Jalan Masuk, Cik O‘oi, Bunga Kuning, Gemalai, Gendang Tinggi, Lagub Rancak, Lenggang Tanduk, Timang Welo, Adik Itam, Colak, Lagu Sabuk, dan Ratap. Sementara itu, cerita yang disajikan dalam pementasan makyong sebagian besar berasal dari warisan tukang cerita istana.


Makyong adalah seni teater tradisional khas Melayu yang masih digemari sampai sekarang dan sering dipertunjukkan sebagai drama tari dalam forum internasional. Makyong ternyata juga muncul di Malaysia (negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah) tetapi penarinya tanpa mengenakan topeng. Makyong diperkirakan telah ada di Riau hampir seabad yang lalu. Belum diketahui secara pasti asal nama makyong tetapi diduga berasal dari kata Ma Hiang atau dikenal sebagai nama sebuah bentuk teater dan nama salah seorang tokoh utama dalam lakon Makyong.

Untuk mementaskan makyong tidak menuntut properti, dekorasi, atau layar untuk pergantian babak. Makyong seringnya dipentaskan di lapangan terbuka namun tetap diberi atap menggunakan bubungan dengan enam buah tiang penyangga dan pada kayu yang melintang dihiasi daun kelapa muda. Bila dimainkan di istana, makyong dipentaskan di panggung beton berbentuk segi enam.

Sebelum pementasan biasanya akan dipilih tempat yang tepat untuk pertunjukan makyong. Seorang ketua panjak (bomo) akan melakukan serangkaian upacara sebelum pementasan berupa pengasapan pada seluruh alat pementasan, yaitu: gendang penganak, gendang pengibu, tawak-tawak, mong, geduk-geduk, canang, serunai, dan rebab. Selanjutnya bomo akan menanam sebutir telur ayam, segenggam beras basuh, segenggam beras kuning, bertih, sirih sekapur, dan sebatang rokok daun nipah. Ia juga akan menaburkan beras basuh (bertih) ke sekeliling tempat bermain, sambil membacakan mantra diiringi bunyi musik berirama magis.


Pementasan makyong terbilang ber-alur lambat dengan cerita bersambung terus selama lima malam, bahkan kadang sampai tujuh malam. Pertunjukan makyong biasanya dimulai setelah Isya dan akan berakhir menjelang Subuh. Dalam pertunjukannya pelakon berjalan dengan gerak tari sederhana yang menggambarkan wataknya. Misalnya seorang wanita pemeran Pakyong harus memperlihatkan gerakan yang cekatan untuk menggambarkan bahwa dirinya seorang pria.

Makyong mengalami kejayaannya pada masa keemasan kesultanan Riau-Lingga tahun 1950-an. Pada masa kejayaannya ini Makyong pernah dianggap sebagai kesenian istana. Di Kepulauan Riau masa lalu, makyong ditemukan di dua tempat, yaitu di Tanah Merah dan di Mantang Arang. Di Tanah Merah dipimpin oleh Embak Tanah Merah; di Rempang dan Sembulang dipimpin oleh Niah; dua kelompok di Kasu masing-masing dipimpin oleh Minah Kekap dan Mat Darus; dan di Dompak dipimpin oleh Emak Empak. Sementara di Mantang Arang masing-masing dipimpin oleh Hasan, Ni Poso, Tongkong, Botak, Ungu Mayang, Awang, Begoh, dan Khalid. Kelompok yang masih ada hingga sekarang hanya Makyong Mantang Arang yang dipimpin Bapak Khalid Kasim. Sebagian besar anggota kelompok ini sudah berusia lebih dari setengah abad.

Makyong yang terancam punah masih banyak di Keke Kijang dan Mantang Arang. Untuk menikmati teater ini Anda juga dapat menyambangi Kijang (Bintan Timur), Rempang atau Sembulang, Dompak, Kasu, Pulau Buluh, dan Cate (daerah pinggiran Pulau Batam). Penikmat teater ini lebih suka datang ke tempat pertunjukannya langsung karena dalam acara hajatan tidak pernah dilakukan akibat tarifnya mahal. Makyong kini terus dipopulerkan dan diperbaharui sesuai zamannya dan melengkapi kekayaan budaya di Kepulauan Riau.

Sumber: Indonesia Travel
Previous Post Next Post