Tersebutlah seorang raja yang bertakhta di daerah Teluk Dalam, raja Simangolong namanya. Sang Raja mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik wajahnya yang bernama Sri Pandan.
Sri Pandan tidak hanya cantik jelita wajahnya. Namun juga terampil pula ia bekerja, ia pandai menenun, menganyam tikar dan terbiasa pula menumbuk padi.
Kecantikann Sri Pandan begitu tersebar. Tidak hanya diketahui rakyat, melainkan para pemuda dari negeri lain. Raja Simangolong sangat berharap, putrinya itu akan menikah dengan pangeran dari negeri lain, dengan demikian hubungan persahabatan dengan negeri lain akan dapat terjalin dengan baik.
Raja simangolong amat gembira ketika akhirnya datang lamaran dari kerajaan Aceh. Raja Aceh meminang Sri Pandan untuk dinikahkan dengan pangeran Aceh yang telah dinobatkan sebagai putra mahkota. Namun demikian raja Simangolong tidak serta merta menerima lamaran itu sebelum meminta pendapat putrinya terlebih dahulu. Oleh karena itu ia meminta waktu kepada utusan raja Aceh.
”Setelah putriku menyatakan persetujuannya,” katanya, “Aku akan sesegera mungkin mengirimkan utusan kepada raja Aceh untuk mengabarkannya”.
Sepulang utusan raja Aceh Raja Simangolong pun bertanya kepada putrinya Sri Pandan,
“Anakku, utusan raja Aceh telah melamarmu. Engkau hendak dinikahkan dengan putra mahkota raja Aceh. Sungguh, Ayahmu ini sangat berbahagia menerima lamaran itu karena ayah sangat berharap engkau dapat disunting putra raja dan kelak engkau akan dapat kemuliaan sebagai permaisuri. Bagaimana pendapatmu dengan lamaran Raja Aceh itu, Wahai anakku?.
Sri Pandan tidak buru-buru menjawab, ia bahkan menundukkan wajah, airmatanya pun luruh.
Sikap Sri Pandan sangat membuat keheranan raja Simalongong. “Mengapa engkau menagis Anakku?. Apakah kau menangis bahagia atau ada hal lain?”.
Sri Pandan, tidak juga lekas menjawab pertanyaan Ayahandanya. Airmatanya bahkan kian deras menetes.
“Jawablah,“ kata Raja Simangolong sangat ingin mendengar kesanggupan putrinya menerima lamaran itu sesuai harapannya.
“Ampun Ayahanda,“ kata Sri Pandan akhirnya. Suaranya terdengar lirih dan wajahnya tetap tertunduk. “Bukan hamba tidak ingin berbakti kepada Ayahanda dengan menerima lamaran tersebut melainkan.”
“Melainkan apa.”
Dengan suara terbata-bata Sri Pandan lantas menjelaskan, ia sesungguhnya telah menjalin hubungan dengan seorang pemuda, ia bahkan telah saling mengikat janji dengan kekasih hatinya itu.
“Siapakah pemuda yang engkau maksud itu?.” Tanya raja Simangolong yang sangat terkejut mendengar penjelasan anaknya.
“Hobatan, Ayahanda, “
“Apa?.” Kedua bola mata Raja Simangolong membesar ketika mendapat jawaban Putrinya.
“Maksudmu… Hobatan pembantu setia kita itu?".
“Benar Ayahanda. “
“Engkau memilih tetap Setia dengan Hobatan dan menolak lamaran Putra Mahkota Kerajaan Aceh?."
Sri Pandan menganggukan kepala. Tak terperikan kemarahan raja Simangolong mendapati keteguhan sikap putrinya yang tetap memilih menjadi istri pembantu setianya dibandingkan disunting Putra Mahkota Kerajaan Aceh. Dengan kemarahan yang terus meninggi berujarlah Raja Simangolong.
“Terimalah lamaran Putra Mahkota Kerajaan Aceh! Putuskan hubunganmu dengan Hobatan! Jika engkau tidak juga memutuskan hubunganmu, niscaya Hobatan akan aku usir!’
Sri Pandan Tidak berdaya menghadapi perintah Ayahnya. Ia lantas menemui Hobatan dan mengajaknya untuk pergi dari istana kerajaan. Betapa kecewanya Sri Pandan ketika mendengar Hobatan mmenolak ajakannya. Tidak hanya menolak Hobatan bahkan menyarankan agar Sri Pandan menerima saja lamaran Putra Mahkota Kerajaan Aceh. Kata Hobatan, “Itu lebih baik bagimu. Kelak engkau akan menjadi permaisuri setelah putra mahkota yang melamarmu itu bertakhta selaku raja.”
Sri Pandan yang sangat kecewa lantas berujar, ”Baiklah jika itu yang menjadi kehendakmu. Aku akan terjun ke lubuk dibandingkan harus menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Ketahuilah wahai kekasihku, aku akan tetap setia dengan cintaku padamu!.”
Hobatan tetap pada pendiriannya, ia menyarankan pada kekasihnya itu mengurungkan rencana anehnya itu dan lebih baik menerima pinangan Putra Mahkota Kerajaan Aceh.
Bertambah-tambah kekecewaan Sri Pandan. Hari itu juga ia berkemas-kemas. Dibawanya beberapa lembar pakaiannya. Semua perhiasan yang terbuat dari emas turut dibawanya serta. Dengan langkah mantap ia meninggalkan istana kerajaan dan menuju lubuk sungai asahan.
Setibanya ditempat yang dimaksudnya Sri Pandan melemparkan semua barang bawaannya ke dalam lubuk yang dalam itu. Pakaian dan perhiasan emas yang banyak jumlahnya itu pun berjatuhan dan masuk kedalam lubuk. Tak berapa lama Sri Pandan pun berujar. ”Tidak akan ada lagi perempuan cantik di kerajaan ini!”.
Selesai berujar Sri Pandan lantas menerjunkan dirinya ke dalam lubuk membawa cinta dan kesetiaannya.
Kegemparan besar melanda istana kerajaan ketika raja Simalongong dan permaisuri tidak menemukan Sri Pandan. Raja Simalongong lantas memanggil Hobatan.
Di hadapan Raja Simalongong, Hobatan menceritakan kejadian yang dialaminya berkenaan dengan Sri Pandan. Ia telah menyarankan agar Sri pandan menerima pinangan Putra Mahkota Kerajaan Aceh namun Sri pandan malah mengancam akan terjun ke lubuk dibandingkan harus menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya .
Raja Simangolong amat menyesali tindakannya.
Raja Simalongong dengan diiringi para prajurit segera menuju lubuk di sungai asahan itu. Para prajurit bergegas menerjuni lubuk untuk mencari Sri Pandan. Namun setelah berulang-ulang menyelam dan mencari, Sri Pandan tidak juga mereka ketemukan, mengingat Sri Pandan terjun kedalam lubuk dengan membawa seluruh perhiasan emasnya, maka lubuk itu pun dinamakan Lubuk Emas.
Pesan Moral
Janganlah kita memaksakan kehendak kepada orang lain. Sesuatu yang baik menurut kita belum tentu baik juga bagi orang lain. Hargailah pendapat dan keinginan orang lain.
Sumber: Dongengceritarakyat
Tags:
Cerita Rakyat