Pada jaman Dahulu kala. Dipinggir sebuah Hutan, tinggal seorang anak beserta ibunya. Ayahnya telah lama meninggal dunia. Mereka berdua tinggal di sebuah pondok.
Ayah si Cani meninggalkan sebidang kebun yang sudah ditanami dengan berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran. Ada pohon jeruk, papaya, tebu, singkong dan pisang. Dari hasil kebun inilah menjadi nafkah Cani dan ibunya. Ibu Cani sangat rajin menjaga dan menyiangi kebunnya. Sehingga cukup banyak dan segar-segar.
Pagi hari itu ibu Cani pergi ke kebun. Cani tinggal di pondok bermain-main. Ibunya sangat sayang pada Cani, maka setiap pulang dari kebun dibawanya buah-buahan segar untuknya.
Tidak berapa jauh dari pondok Cut Cani, tinggallah Cut Caya. Dia hanya tinggal bersama ayahnya saja, karena ibunya sudah lama meninggal.
Kegemaran ayah Cut Caya ialah berburu. Bila pagi hari berangkatlah ia dengan membawa pedang dan tombak, diikuti oleh anjingnya yang setia. Bila pulang ada kalanya membawa daging rusa, kulit harimau, dan yang lainnya. Tetapi tidak jarang juga pulang dengan tangan hampa. Di gubuknya yang kecil, dinding dihiasi tanduk rusa dan kulit harimau.
Bila ayahnya pergi berburu tinggal Cut Caya di gubuk. Dia bermain sesuka hatinya. Ketika bermain itu ia menyimpan bekal daging. Bila ia lelah atau lapar diambilnya daging lalu dimakannya sebagai penganan. Sambil menunggu ayahnya pulang, dia bermain di sekitar gubuk saja. Karena masih kecil maka tidak berani bermain jauh-jauh.
Cut Cani lain pula halnya. Dia mempunyai bekal buah-buaham yang diperolehnya dari kebun sendiri. Kalau perutmya terasa lapar dimakanya singkong rebus, kalau haus dikupasnya jeruk atau buah lainnya. Demikian kehidupan Cut Caya dan Cut Cani, dari hari ke hari tanpa kenal satu sama lain. Seperti hari yang sudah-sudah, hari ini juga Cani bermain-main. Kali ini sudah agak jauh dari pondoknya. Demikian juga Caya. Bersuka hatilah keduanya karena dapat bermain bersama. Setelah letih dan lapar keduanya mengeluarkan bekalnya masing-masing.
Cani heran melihat daging yang dibawa Caya dijadikan sebagai penganan. Baginya daging hanya untuk gulai. Caya juga heran melihat buah-buahan yang dibawa Cani.
Sejak pertemuan itu Caya dan Cani selalu bermain-main berdua. Bila mereka merasa letih, masing-masing membuka bekalnya. Mereka saling mencoba dan merasakan bekal temannya. Sambil mengunyah penganan Caya bertanya, “Cani sahabatku dari manakah engkau selalu membawa buah-buahan segar ini?.” Dengan tersenyum Cani menjawab: “Buah-buahan ini kuperoleh dari kebunku sendiri. Hasil jerih payah ibuku.”
“Ibuku bekerja sendiri, karena ayahku sudah tak ada. Ayahku meninggalkan sebidang kebun, inilah yang dipelihara ibuku,” kata Cani berusaha menjelaskan.
Cani kemudian bertanya: “Sahabatku Caya dari manakah engkau memperoleh daging ini?.”
“Aku tak punya ibu lagi. Aku hanya punya ayah. Ayahku yang memperoleh daging ini, karena ayahku suka berburu.”
Suatu hari, Caya membawa daging untuk Cani agar dibawa pulang. Ketika Cani memberikan daging, ibunya heran. Dari manakah Cani memperoleh daging. Cani Menceritakan kepada ibunya, bahwa ia sekarang mempunyai teman, Cut Caya namanya. Pondoknya tidak jauh dari pondok kita. Cani menceritakan pula bahwa Caya sudah tidak punya ibu. Caya tinggal berdua bersama ayahnya yang suka berburu.
“Bu, saya ingin punya ayah seperti Caya,” kata Cani tiba-tiba kepada ibunya. Ibunya termenung, kemudian dengan penuh kasih sayang dielusnya rambut si Cani.
Keesokan harinya Cani disuruh ibunya membawa buah-buahan untuk diberikan kepada temannya. Caya sangat gembira menerima pemberian ini. Kemudian pulanglah dia dengan suka cita. Sebentar-sebentar ia memandang keranjang yang penuh itu dengan perasaan gembira.
Sampai di rumah didapati ayahnya sedang duduk-duduk menunggunya. Diberikannya buah-buahan, Caya menceritakan tentang temannya si Cani yang memberi buah itu. Caya menceritakan juga ibu temannya itu telah janda, dia memuji betapa rajinnya ibu itu merawat tanaman di kebunnya. Ayahnya mendengarkan cerita Caya sambal menikmati buah-buahan.
Sampai di rumah didapati ayahnya sedang duduk-duduk menunggunya. Diberikannya buah-buahan, Caya menceritakan tentang temannya si Cani yang memberi buah itu. Caya menceritakan juga ibu temannya itu telah janda, dia memuji betapa rajinnya ibu itu merawat tanaman di kebunnya. Ayahnya mendengarkan cerita Caya sambal menikmati buah-buahan.
Hari berikutnya Caya membawa daging lagi untuk Cani. Begitu pula Cani juga membawakan buah untuk Caya. Kemudian Caya bercerita bahwa ayahnya sangat gembira menerima buah-buahan pemberian Cani.
“Ayah sangat berterima kasih,” kata Caya.
“Wahai Cani,” kata Caya pula, “Alangkah senang hatiku kalau aku memperoleh ibu seperti ibumu.”
Persaaan Cani juga demikian, alangkah bahagia punya ayah seperti ayah Caya. Maka mufakatlah kedua anak itu akan mempertemukan kedua orang tua mereka. Lalu mereka pulang ke pondok masing-masing dengan perasaan suka cita.
Setiba di pondoknya Caya memberikan buah-buahan pemberian Cani kepada ayahnya. Mereka berdua menikmati buah dengan gembira.
“Ayah, alangkah senangnya punya ibu seperti ibu Cani,” kata Caya kepada ayahnya.
“Bila ibu si Cani boleh dibawa ke sini, kita akan menikmati buah bersama-sama. Dan saya tak perlu jauh-jauh mencari teman.” “Cani nanti menjadi saudara saya dan tinggal di sini.”
Ayah Caya heran mendengar kata-kata anaknya. Memang sudah terpikir olehnya akan mengganti ibu si Caya. Tetapi ia takut kalau Caya mendapatkan perlakuan ibu tiri yang tidak diingini. Sekarang anaknya sendiri yang meminta. Maka dipandang anaknya yang kecil itu seperti terbayang sebuah harapan.
Ayah Caya menerima usul anaknya demi kebahagiaan buah hatinya. Mendengar itu tidak dapat terlukiskan betapa gembiranya Caya.
Ketika Cani tiba di pondok, ibunya tidak ada. Tetapi tidak berapa lama nampak ibunya pulang. Maka segera dijemputnya ke halaman. Setelah sudah pulih capeknya, Cani menceritakan rencananya dengan Caya tadi. Caya menginginkan seorang ibu, sedangkan Cani menginginkan seorang ayah.
“Aku akan bahagia bila aku punya ayah,” kata Cani
Ibu Cani terkejut mendengar perkataan anaknya.
“Jadi tidakkah engkau merasa bahagia tinggal berdua bersama ibu?” tanya ibu Cani kepada anaknya.
“Aku merasa bahagia Bu. Tetapi akan lebih bahagia bila kita telah tinggal serumah dengan Caya,” sahut Cani.
Cani memohon agar keinginnya dikabulkan. Karena ibunya sangat sayang kepada Cani maka, permintaan anaknya dikabulkan. Tak terlukiskan gembiranya perasaan Cani ketika ibunya menyetujui permintaannya.
Esok harinya ditemuinya Caya, untuk menanyakan bagaimana keputusan ayahnya. Di tempat mereka biasa bermain, ditemuinya Caya sedang duduk menantikan kedatangannya. Rupanya Caya juga tak sabar lagi mendengarkan keputusan dari Cani. Masing-masing mengeluarkan keputusan orang tuanya. Dan, keduanya gembira karena usaha mereka berhasil.
Dengan gembira mereka berdua merundingkan bila pekerjaan ini akan dilangsungkan. Setelah ditentukan, pulanglah mereka ke rumah masing-masing. Caya dan Cani menyampaikan berita gembira itu kepada orang tua mereka.
Pada hari yang telah ditentukan berlangsunglah pernikahan ayah Cut Caya dengan ibu Cut Cani. Tak terlukiskan gembiranya mereka. Kini mereka telah tinggal sepondok. Milik Caya maupun milik Cani menjadi milik mereka berdua. Inilah yang mereka harapkan. Sekarang, bila ibu mereka ke ladang dan ayahnya berburu, maka tinggallah Caya dan Cani menunggu pondok sambal bermain dengan suka cita. Bila ibu pulang membawa buah-buahan dan juga ayahnya pulang membawa daging, maka mereka dapat makan bersama-sama.
Cerita ini memperkenalkan dua tokoh anak-anak. Yang seorang tidak punya ayah dan yang lainnya tidak punya ibu.
Perkenalan kedua anak-anak ini dilanjutkan dengan tali persahabatan yang erat. Hal ini merupakan teladan bagi persahatan yang disertai kasih sayang. Bahkan juga rindu pada kelengkapan orang tua masing-masing.
Perkenalan kedua anak-anak ini dilanjutkan dengan tali persahabatan yang erat. Hal ini merupakan teladan bagi persahatan yang disertai kasih sayang. Bahkan juga rindu pada kelengkapan orang tua masing-masing.
Sumber: Books Google
Tags:
Cerita Rakyat